Trade wiping out Indonesia’s bird species
Jakarta, Indonesia, 25th May 2016—A new study has revealed that 13 bird species—including Indonesia’s national bird, the Javan Hawk-eagle—found in Sundaic Indonesia are at serious risk of extinction because of excessive over-harvesting.
The study also finds that an additional 14 bird subspecies are in danger of extinction. The driver behind this crisis is the enormous demand for birds for the domestic pet trade.
The keeping of birds as pets in Indonesia is an integral part of the national culture, yet the high levels of demand for some species have fuelled excessive hunting with the populations of many rapidly disappearing.
Besides the Javan Hawk-eagle, the other full species at risk include the Silvery Woodpigeon, Helmeted Hornbill, Yellow-crested Cockatoo, Scarlet-breasted Lorikeet, Javan Green Magpie, Black-winged Myna, Bali Myna, Straw-headed Bulbul, Javan White-eye, Rufous-fronted Laughingthrush, Sumatran Laughingthrush and Java Sparrow.
Although most of them are kept as pets, the Helmeted Hornbill is an exception: as TRAFFIC recently revealed, thousands are being illegally killed and traded for their unique solid bill casques, carved as a substitute for elephant ivory, to meet demand in China.
Another of them, the Javan Green Magpie, was recognized as a full species as recently as 2013—and simultaneously documented as in grave danger of extinction owing to trade pressure. In direct response, the Threatened Asian Songbird Alliance (TASA), operating as a formal body of the European Association of Zoos and Aquaria (EAZA), initiated a programme of captive breeding in a number of zoos, as assurance colonies, for security and propagation purposes.
Such conservation breeding is the last hope for some of the taxa affected. According to the study: “Regrettably five subspecies…are probably already extinct, at least in the wild, due primarily to trade.” They include one subspecies of a parrot (Scarlet-breasted Lorikeet), three subspecies of White-rumped Shama, an accomplished songster and one of the Hill Myna, popular because of its ability to mimic human voices.
“Whether its species or subspecies, the message is the same: excessive trade is wiping out Indonesia’s wild bird species at an alarming rate” said Dr Chris Shepherd, TRAFFIC’s Director for Southeast Asia, and a co-author of the study.
“Despite the alarming scale and consequences of the bird trade, governments and even conservation organizations often don't view this issue as a high priority. This hampers efforts to prevent further losses.”
The solutions to the bird trade crisis in Indonesia lie in a combination of better law enforcement, public awareness campaigns, in situ management, conservation breeding, conversion of trappers to wardens and field, market and genetic surveys, say the study’s authors.
Meanwhile as certain favoured species disappear because of trapping, others are targeted as “next-best” substitutes, while commercial breeders sometimes hybridise taxa for “better” effects, leading to further conservation complexities.
The study’s authors also consider whether commercial breeding could help alleviate the situation, but conclude that “while attractive in theory, [commercial breeding] presents difficulties that are probably insurmountable in practice.”
Trade-driven extinctions and near-extinctions of avian taxa in Sundaic Indonesia (PDF, 220 KB) was published in Forktail, the journal of the Oriental Bird Club.
bahasa indonesia
Perdagangan satwa menyebabkan kepunahan burung-burung Indonesia
Jakarta, Indonesia, 26 Mei 2016 — Studi terbaru TRAFFIC menunjukkan bahwa 13 spesies burung, termasuk maskot satwa langka Indonesia, Elang Jawa, yang ditemukan di wilayah Paparan Sunda, saat ini menghadapi risiko kepunahan yang sangat besar. Hal ini dikarenakan oleh adanya tingkat perburuan terhadap burung-burung ini yang sangat tinggi.
Studi ini juga menemukan bahwa 14 subspesies burung lainnya juga mengalami ancaman kepunahan. Penyebab dari ancaman ini adalah perdagangan burung untuk satwa peliharaan.
Pemeliharaan burung di Indonesia adalah bagian besar dari kultur nasional, namun permintaan yang tinggi telah menyebabkan adanya perburuan burung yang berlebih sehingga populasi burung berkurang secara drastis.
Selain Elang Jawa, satwa lainnya yang terancam punah akibat perburuan ini adalah Merak Hutan perak, Rangkong Gading, Kakatua Jambul Kuning, Perkici Pelangi, Ekek Geling Jawa, Jalak Putih, Jalak Bali, Cucak Rawa, Kacamata Jawa, Poksay Kuda, Poksay Sumatra, dan Gelatik Jawa.
Walaupun kebanyakan burung ini dipelihara sebagai satwa peliharaan, namun burung Rangkong Gading adalah pengecualian.Baru-baru ini TRAFFIC mengungkapkan bahwa burung ini diburu secara illegal dalam jumlah ribuan untuk paruhnya yang unik. Paruhnya ini dianggap sebagai suatu “Gading” yang menjadi substitusi Gading Gajah yang biasa diperdagangkan. Gading rangkong ini diukir dan dijual di Cina untuk memenuhi permintaan pasar.
Spesies burung lainnya, Ekek Geling Jawa, dikenal sebagai species tersendiri pada tahun 2013. Pada saat yang sama spesies ini diidentifikasikan sebagai burung yang berada di dalam ambang kepunahan akibat perdagangan satwa. Sebagai respons dari hal ini, Aliansi Burung Terancam Punah Asia (Threatened Asian Songbird Alliance – TASA), yang menjadi perwakilan resmi dari Asosiasi Kebun Binatang dan Aquaria Eropa (European Association of Zoos and Aquaria – EAZA) menginisiasi program penangkaran dalam sejumlah kebun binatang, sebagai upaya pelestarian, jaminan keamanan dan propagasi dari koloni burung.
Usaha konservasi tersebut adalah harapan terakhir untuk jenis burung yang terancam punah. Menurut studi: “Dengan menyesal, setidaknya lima sub-spesies… telah punah di alam, akibat perdagangan satwa.” Sub spesies ini termasuk satu sub spesies burung perkici pelangi, 3 sub spesies burung Kucica hutan yang memiliki kicauan yang sangat merdu, dan salah satu species beo, yang sangat digemari karena kemampuannya untuk meniru suara manusia.
“Apakah itu spesies atau sub spesies, pesan yang dapat disampaikan itu sama: perdagangan yang berlebih itu mengakibatkan kepunahan burung liar Indonesia dan hal ini terjadi dalam laju yang sangat mengkhawatirkan”, ucap Dr Chris Shepard, Direktur TRAFFIC Asia Tenggara, dan juga salah satu penulis dari studi mengenai kepunahan burung Indoensia akibat perdagangan satwa.
“Terlepas dari skala perdagangan dan konsekuensi dari perdagangan yang sangat mengkhawatirkan, pihak pemerintah dan bahkan organisasi konservasi tidak melihat hal ini sebagai isu yang prioritas. Hal ini menghambar usaha yang perlu dilakukan untuk mencegah kehilangan yang lebih besar.”
Solusi dari krisis perdagangan burung di Indonesia adalah kombinasi dari penegakan hukum yang lebih tegas, kampanye sosialisasi isu perdagangan burung, penangkaran in-situ, pengembangbiakan populasi untuk kebutuhan konservasi, mengubah pekerjaan pemburu burung menjadi para penjaga dan pengawas konservasi satwa, adanya survey pasar burung dan juga survey genetis burung, ucap para penulis studi ini.
Sementara karena beberapa spesies yang lebih digemari itu lebih cepat punah karena adanya perburuan, maka kemungkinan besar spesies lain yang belum terancam tinggal mengantri menunggu gilirannya. Hal ini karena spesies lain ini akan menjadi target untuk menjadi “burung pengganti”. Sedangkan ada pula para penangkar komersil yang akan mengawinkan jenis untuk mendapatkan “bibit unggul”, yang menyebabkan masalah konservasi burung menjadi lebih kompleks.
Para penulis juga mempertimbangkan apakah penangkaran komersil bisa membantu situasi tetapi menyimpulkan bahwa ”walaupun menarik secara teori, penangkaran secara komersil menghadirkan berbagai kesulitan yang tidak terduga jumlahnya dalam prakteknya.”
Notes:
The bird trade in Medan, north Sumatra: an overview by Chris Shepherb, published in the Oriental Bird Club's bulletin, BirdingASIA
The owl trade in Jakarta, Indonesia: a spot check on the largest bird markets by Chris Shepherb, published in the Oriental Bird Club's bulletin, BirdingASIA