- »
- Publications »
- Reports »
- Adding up the numbers: An investigation into commercial breeding of Tokay Geckos in Indonesia
Published 24 November 2015
Tokay Gecko captive breeding doesn’t add up
Jakarta, Indonesia, 6th November 2015—A new TRAFFIC report questions the viability of captive-breeding operations given the go-ahead to produce millions of live Tokay Geckos a year for export from Indonesia.
Adding up the numbers: An investigation into commercial breeding of Tokay Geckos in Indonesia
Report author(s):
Vincent Nijman, Chris R. Shepherd
Publication date:
November 2015
key findings
According to the report, Adding up the numbers: An investigation into commercial breeding of Tokay Geckos in Indonesia, producing such numbers from existing captive breeding operations would be impracticable and the geckos would inevitably end up being sourced from the wild.
Commercial breeding of Tokay Geckos is permitted in Indonesia and in March 2014 the Indonesian Ministry of Forestry announced that they had given permission to six companies to export a total of over three million live captive-bred Tokay Geckos a year for the pet trade.
According to the report, captive breeding operations on this scale would require significant financial investments, huge premises and large numbers of staff and simply be unprofitable.
The researchers calculated that in order to produce one million adult-sized geckos a year, a captive breeding facility would require 140,000 breeding female geckos and 14,000 male geckos. It would also need 30,000 incubation containers in continuous use annually, 112,000 rearing cages and a 100 percent hatchling survival rate. The captive breeding facilities would also need hundreds of staff and a constant supply of food in order to provide basic care for the geckos. Yet to be profitable, it would need to cost less than USD1.90 to produce and export each live gecko.
Given the investment needed, it’s clearly impossible to maintain and breed Tokay Geckos year-round on the scale required and still make a profit
Dr Chris R. Shepherd, Regional Director of TRAFFIC in Southeast Asia
“Traders we spoke to said it wasn’t likely or even a financially attractive proposition to do so: the inescapable conclusion is that to meet export quotas, large numbers of geckos would be taken from the wild and laundered into international trade, falsely declared as being captive-bred.”
Indonesia controls the trade in Tokay Geckos taken from the wild by setting an annual harvest and export quota. In 2006, one of the companies recently given permission to export 1 million live geckos was estimated to have exported some 390,000 wild-caught, dried geckos, in violation both of the agreed purpose (live, as pets) and of the then national allocated quota of 50,000 wild-caught animals. Like the other five companies recently licensed by the Ministry of Forestry, it is not known to have bred Tokay Geckos in commercial numbers nor supplied the pet trade previously.
The authors recommend that applications for permits to captive breed Tokay Geckos commercially are viewed critically. They also urge Indonesia to list the Tokay Gecko in Appendix III of the Convention on International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora (CITES) with immediate effect, to allow monitoring of the trade from the country, and to consider the merits of a listing in Appendix II of the Convention to enable greater regulation of the international trade.
"With millions of Tokay Geckos being traded internationally, and wild populations being negatively affected throughout Southeast Asia, it is vital to ensure that levels of trade are not detrimental to the species’s survival,” said Professor Vincent Nijman of Oxford Brookes University.
Tokay Geckos have been traded for use in traditional medicine for centuries throughout Asia, but experienced a sudden and massive surge in demand in 2009 following rumours they could cure HIV/AIDS. The World Health Organization has since issued statements denying this claim. The species is also popularly kept as a pet.
bahasa indonesia
Pengembangbiakan Tokek dalam Tangkaran Tidak Masuk Akal—TRAFFIC
Jakarta, Indonesia, 6th November 2015—Laporan TRAFFIC yang baru mempertanyakan kelangsungan dari operasi pengembangbiakan Tokek dalam tangkaran berhubung ada lampu hijau memproduksi jutaan Tokek hidup dalam setahun untuk ekspor, dari Indonesia.
Menurut laporan tersebut, produksi dengan jumlah tersebut melalui operasi pengembangbiakan dalam tangkaran yang ada sangatlah tidak praktis, sehingga pada akhirnya Tokek akan harus diambil dari alam.
Pengembangbiakan komersil Tokek diizinkan di Indonesia, dan pada Maret 2014 Kementrian Kehutanan Indonesia mengumumkan bahwa izin diberikan kepada 6 perusahaan untuk mengekspor dalam setahun, lebih dari 3 juta ekor Tokek yang berasal dari penangkaran, untuk diperdagangan sebagai satwa peliharaan.
Dalam laporan “Adding up the numbers: An investigation into commercial breeding of Tokay Geckos in Indonesia”, (Menghitung jumlah: Investigasi penangkaran Tokek di Indonesia), pengembangbiakan Tokek dalam skala ini akan membutuhkan investasi dan lahan yang sangat besar, serta jumlah pekerja yang sangat banyak, sehingga usaha ini tidaklah menguntungkan.
Para peneliti dalam laporan menghitung bahwa untuk dapat memproduksi 1 juta Tokek ukuran dewasa, maka sebuah fasilitas akan membutuhkan 140.000 ekor Tokek indukan betina dan 14.000 Tokek indukan jantan. Akan dibutuhkan pula 30.000 kontainer inkubasi untuk digunakan secara kontinyu tiap tahunnya, 112.000 kandang penangkaran dan tingkat kesintasan sebesar 100 persen. Fasilitas penangkaran ini juga akan membutuhkan ratusan staff dan persediaan makanan secara terus menerus untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup Tokek. Namun, agar dapat untung, dibutuhkan biaya kurang dari USD 1.90 (Rp. 26.000) untuk memproduksi dan mengekspor setiap ekor Tokek hidup.
“Jika dilihat dari angka yang dibutuhkan untuk investasi ini, tidak mungkin untuk dapat menangkar dan mengembangbiakan Tokek ini sepanjang tahun, apalagi memperoleh keuntungan. ,”ucap Chris Shepard, Direktur regional TRAFFIC di Asia Tenggara.
“Para pedagang yang telah kami ajak bicara pun, mengatakan bahwa mengembangbiakan Tokek dengan skema seperti itu sangatlah tidak umum, bahkan secara finansialpun kurang ada daya tarik : sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai kuota ekspor, sejumlah besar Tokek harus di ambil dari alam, dilakukan pencucian ke dalam jalur perdagangan satwa, dan diakui sebagai berasal dari penangkaran,”
Indonesia mengontrol perdagangan Tokek yang diambil dari alam dengan kuota tangkap dan kuota ekspor. Pada tahun 2006, suatu perusahaan yang memiliki izin untuk mengekspor 1 juta Tokek hidup, diperkirakan mengekspor 390.000 Tokek, yang diambil dari alam, dan dalam bentuk Tokek kering. Hal ini melanggar perjanjian yang telah disepakati (diekspor hidup, sebagai satwa peliharaan) juga melanggar kuota nasional yang mengalokasikan 50.000 ekor diambil dari alam. Seperti halnya 5 perusahaan lain yang baru-baru ini diberikan izin oleh Kementrian Kehutanan, perusahaan ini tidak memiliki riwayat telah mengembangbiakan kadal Tokek dalam jumlah komersil sebelumnya, perusahaan ini juga tidak memiliki riwayat telah mensuplai Tokek kepada pasar satwa peliharaan.
Para penulis merekomendasikan bahwa aplikasi izin pengembangbiakan komersial Tokek ditinjau ulang secara kritis. Penulis juga mendorong Indonesia untuk segera mendaftarkan Tokek ke dalam Lampiran III dari Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka Fauna dan Flora (CITES), dan segara menerapkannya, sehingga dapat dilakukan pemantauan perdagangan dari dalam negri, dan untuk mempertimbangkan nilai dari mendaftarkan Tokek ke dalam Lampiran II CITES untuk memperoleh peraturan yang lebih ketat mengenai perdagangan Tokek secara internasional.
"Dengan adanya jutaan Tokek yang diperdagangkan secara internasional, dan adanya populasi Tokek yang terpengaruh secara negatif oleh perdagangan di seluruh Asia Tenggara, penting untuk memastikan bahwa tingkat perdagangan ini tidak akan merugikan kelangsungan hidup Tokek , "kata Profesor Vincent Nijman dari Oxford Brookes University.
Tokek diperdagangkan sebagai obat tradisional selama berabad-abad di seluruh Asia, tetapi perdagangan ini mengalami lonjakan permintaan secara drastis di tahun 2009 akibat adanya rumor bahwa Tokek bisa menyembuhkan HIV / AIDS. Organisasi Kesehatan Dunia sejak saat itu telah mengeluarkan pernyataan yang menyangkal mitos ini. Tokek juga umum menjadi satwa peliharaan.
30,000
incubation chambers would be needed to produce one million adult-sized geckos a year
140,000
breeding females would be needed
14,000
male geckos would be needed
for more information:
Kanitha Krishnasamy Director - Southeast Asia
Related News and Reports
featured in: Asia & Middle East Reptiles & Amphibians Trade Monitoring Sustainability & Development